Kupu-kupu tidak tahu warna sayap mereka, tapi orang-orang tahu betapa indahnya mereka.
Seperti juga dirimu, tidak tahu betapa indahnya dirimu, tapi Allah tahu betapa istimewanya dirimu di mataNya..
Ketika engkau tunduk dalam syari'atNya, Ridha atas takdirNya, Tersenyum dalam musibah, Tegar dalam ujian, Teguh dalam pendirian, Subhanallah...
Semoga engkau termasuk orang-orang yang terpilih menjadi hamba terindah di mataNya,, (^^)

Kamis, 27 Oktober 2011

Doa Untuk Ibu ( juara II DC FK-UNAND 2010)

Just For You My Mom...
Love U’re Daugther : Inova Gusmelia

Entah mengapa beberapa hari ini aku merasa gelisah yang sangat luar biasa, meskipun shalat wajib maupun sunnah sudah ku kerjakan, air wudhu yang selalu ku juga, ayat suci yang selalu ku lantunkan tetap saja aku merasa suatu kegelisahan yang sebelumnya belum pernah ku rasakan seperti ini.

Hari ini aku berangkat ke kampus dengan langkah gontai dan perasaan yang tak menentu, kegelisahan tetap saja menggerogotiku beberapa hari terakhir ini, pastinya semenjak tak ada lagi kabar dari keluarga ku nun jauh di sana. Kabar terakhir yang ku ketahui beberapa hari yang lalu adalah ibu sedikit sakit-sakitan. Sebenarnya aku ingin pulang, aku ingin mengetahui bagaimana sebenarnya kabar ibu ku ? apakah hanya sakit sedikit saja? Atau ntah bagaimana?

Duh Gusti... bukannya aku tak mau pulang dan merawat ibuku atau hanya sekedar berada di sisinya dan menemaninya, tapi dalam dua minggu ini aku sedang melaksanakan ujian akhir semester genap. Sebenarnya bisa saja aku pulang dan mengikuti ujian susulan, tapi terakhir ayah katakan pada ku bahwa ibu baik-baik saja dan aku tak perlu terlalu mengkhawatirkannya, intinya ayah menyuruhku untuk tetap mengikuti ujian dan baru boleh pulang setelah ujian. Aku hanya dapat memberikan doa yang terindah saja untuk ibuku tercinta, Rabb... aku mohon sembuhkan ibuku dari penyakit yang di deritanya.
Akhirnya ujian hari ini selesai juga kujalani meskipun aku sedikit sanksi dengan hasil ujianku tadi. Aku hanya bisa mengikhlaskannya saja,pikiranku saat ini benar-benar tak menentu. Kadang inginku membantah perkataan ayah, mengapa aku tak boleh pulang untuk menjenguk ibu? Aku kan bisa ikut ujian susulan, hmm... ntah apa yang di inginkan oleh ayahku? Memang Jogja-Jambi bukan lah jarak yang dekat untuk ditempuh, membutuhkan beberapa hari dalam perjalanan dan biaya yang cukup besar. Sekali lagi ya Rabb... kuserahkan semuanya kepada-Mu tolong jaga ibuku. Aku harus bersabar, ujian tinggal dua hari lagi dan aku akan langsung pulang untukmu ibu.

Jumat, 20 juli 2007
Hari itu adalah hari yang sangat berat untukku. Sungguh aku tak sanggup untuk mendengar kabar yang sangat memilukan itu, kondisi ibuku kritis dan kini berada di ruang ICU. Ya Rabb... mengapa ini semua harus terjadi? Rencana apa ini? Rabb... kuatkan aku, mudahkan langkahku untuk pulang menemui ibuku, amin.

Bismillahirohmanirrohim... kini aku sudah berada didalam burung besi yang siap mengantarku pulang kekampung halaman untuk menemui ibu. Tatapan kosong ku layangkan keluar jendela disampingku, melihat betapa indahnya segala yang dimiliki oleh sang pencipta, sungguh DIA adalah sang Maha kaya. Kadang aku sempat berpikir ntah apa isi kepala mereka yang dengan begitu sombongnya membanggakan harta-benda yang jelas-jelas adalah titipan Allah yang bersifat sementara. Mereka dengan angkuhnya menindas orang-orang yang lemah, tanpa mereka sadari bahwa sesungguhnya mereka adalah media Allah untuk berbagi harta dan kebahagiaan. Yah, begitulah kondisi dunia zaman sekarang senang bersama-sama, susah sendiri-sendiri.

“Maaf dik, boleh saya titip tas ini sebentar? Saya mau ke belakang dulu.”

Tiba-tiba wanita disampingku membuyarkan semua lamunanku. Aku pun buru-buru menoleh dan berusaha untuk tersenyum kepadanya.

“Iya, baiklah. “ jawabku seadanya.

Wanita itu mengangguk sembari tersenyum, beberapa detik kemudian wanita itu pun sudah berlalu. Senyumnya mengingatkanku lagi pada ibuku yang ntah bagaimana kondisinya saat ini. Ibu... anak macam apa aku ini? Disaat kau terbaring lemah aku tak ada disisimu, sedangkan kau meski hanya naik sedikit saja suhu tubuhku dengan sabar kau temani aku dengan segala rengekkanku yang aku pun yakin pasti membuatmu lelah. Akh... ibu, sungguh demi pencipta langit dan bumi, demi pencipta bulan dan matahari, aku sungguh menyanyangimu, mencintaimu, merindukanmu, dan aku masih sanksi apakah dapat dengan ikhlasku terima jika hal yang tak diinginkan menimpa dirimu. Rabb... jangan biarkan itu terjadi, biarkan aku saja yang merasakannya, jangan dia. Dia terlalu indah untuk menderita, dia penuh dengan kasih sayang, kelembutan. Matanya... matanya selalu memancarkan cahaya yang selaluku rindu...

“Terima kasih ya dik, sudah menjaga tas saya. O iya, nama kamu siapa?” wanita itu tersenyum kearahku seraya mengulurkan tangannya.

Lagi-lagi wanita itu mengagetkanku dan membuyarkan semua yang ada dalam pikiranku. Buru-buru ku hapus air mata yang ternyata tanpaku sadari mengalir begitu saja di pipiku dan dengan sedikit tersenyumku sambut uluran tangan ibu itu.

“Namaku Annisa Champaca Azzahra, Anda bisa memanggilku Zahra.”

“Nama yang indah. Namaku Sarah, lengkapnya Maisarah. Kamu masih kuliah atau sudah kerja?”

“Aku masih kuliah. Maaf, aku harus panggil Mbak atau Ibu?”

“Panggil Mbak saja, umurku masih 33tahun terlalu tua di panggil Ibu oleh gadis seusiamu.”

“Baiklah, aku panggil Mbak Sarah saja.”

“Ya, kedengarannya baik. Maaf, kalau boleh aku tahu mengapa kamu terlihat sedih sekali? Dari tadi aku seperti duduk sendiri saja, sama sekali tak terdengar suaramu padahal suaramu cukup indah untuk didengar.”

Kutatap wajah mbak Sarah, ternyata wanita di sebelahku ini memiliki mata teduh dan senyum indah dibalik kerudung lembayung yang dikenakannya. Aku juga baru tersadar bahwa aku memang tak sempat menyapa orang yang berada didekatku. Buru-buru aku tersenyum, kali ini kucoba senyum dengan ikhlas.

“Maaf mbak, jika aku bersikap sedikit tidak acuh kepadamu. Iya mbak, aku lagi sedikit bersedih.” Jawabku sejujurnya.

“Iya tidak apa-apa. Manusia memang tak pernah luput dari penderitaan. Manusia dan penderitaan ibarat sayur dan garam, jika salah satu diantaranya tidak ada maka akan terasa hambar, begitu juga hidup manusia tanpa penderitaan semuanya akan datar-datar saja. Memang terkadang manusia sering menyalah artikan penderitaan itu sendiri, banyak diantara mereka mengira bahwa penderitaan itu adalah suatu musibah yang tak pernah diharapkan oleh siapapun. Mereka lupa bahwa terkadang penderitaan merupakan suatu media yang bisa digunakan sebagai alat untuk lebih mendekatkan diri kepada sang khalik. Dengan adanya penderitaan kita dapat menjalin hubungan bathin yang lebih erat kepada-Nya, semuanya tergantung pada jenis manusia yang menerima penderitaan itu.”
Aku membisu menatap mbak Sarah, orang yang dalam beberapa menit ini baruku kenal kata-katanya mampu membuatku terdiam sesaat. Aku hanya menatapnya dalam beberapa waktu dan tak ada satupun kata yang terucap dari mulutku.

“Maaf, apakah kata-kataku menyinggung perasaanmu? Sungguh aku tak bermaksud begitu.” Dengan penuh sesal dia menatapku.

Aku langsung tersenyum, dengan jujur ku katakan...
“Tidak mbak, mbak sama sekali tidak menyinggung perasaanku. Aku hanya kagum dengan apa yang tadi mbak ucapkan. Apa yang mbak katakan tadi memang benar, manusia memang tak pernah luput dari penderitaan dan memang banyak sekali manusia yang tidak siap menerima penderitaan, mungkin aku adalah salah satu diantara mereka.”

“Apa yang menjadi penderitaanmu dik? Berbagilah kepadaku, barangkali aku bisa membantu mengurangi beban pikiranmu. Satu hal yang harus kamu tahu, bahwa Allah memberikan banyak keistimewaan kepada wanita salah satunya wanita dapat lebih tegar menghadapi penderitaan dari pada pria.”

“Mengapa begitu mbak? Bukankah pria hampir tak pernah menangis dalam menghadapi suatu penderitaan?”

“Iya, pria memang jarang menangis dan itulah yang menjadi alasan bahwa wanita lebih tegar menghadapi penderitaan dari pada pria. Wanita dapat dengan mudahnya berbagi dengan teman-temanya sekalipun dengan orang yang baru dikenalnya, wanita juga dapat mengurangi beban penderitaannya dengan cara menangis dengan begitu ia akan merasa sedikit tenang. Sedangkan pria, menangis justru menambah penderitaannya dan pria sangat sulit untuk memulai cerita kepada orang lain ia tak mau dianggap lemah.”

Aku semakin kagum dengan wanita anggun dihadapanku ini, sekali lagi kata-katanya mampu membiusku hingga tak menatapnya tanpa bersuara.

“Kau menatapku seperti itu lagi Zahra? Apa aku salah berucap lagi?” mbak Sarah bertanya kembali dan kali ini sedikit lebih hati-hati.

“Mbak... aku sangat tertarik dengan setiap kata yang kau ucapkan. Pemikiranmu begitu indah dan bahasamu begitu santun, aku mengagumimu.” Dengan polosnya ku katakan apa yang aku pikirkan tentangnya.

“Akh, kau ini mbak hanya mengatakan apa yang seharusny dikatakan saja. Bagaimana kau mau berbagi denganku? Yang sekedar mengurangi sedihmu selama perjalanan beberapa jam ini saja.”

Aku berpikir sejenak, yah apa salahnya berbagi dengan orang yang baik seperti ini.
“Iya mbak, aku akan coba berbagi denganmu dan sebelumnya aku ingin mengucapkan terima kasih terlebih dahulu.”

Mbak Sarah hanya tersenyum dan mengangguk...

“Begini mbak, sekarang Ibuku lagi sakit keras subuh tadi ia masuk ke ruang ICU. Aku sungguh khawatir kepadanya, aku merasa bersalah tak ada di sisinya saat ia lemah seperti itu. Aku... aku sangat mencintai ibuku mbak.”

“Oh... wajar kau terlihat begitu sedih. Memangnya sakit apa yang menyebabkan ibumu sampai seperti itu?”

“Penyakit ibuku sudah komplikasi mbak, ibu mengidap diabetes ditambah lagi maag yang sudah cukup parah itulah yang menyebabkan ibu seperti itu.”

“Sabarlah kalau begitu dik, berdoa saja untuk kesembuhan ibumu. Percayalah Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk kita semua dan tak akan pernah memberi cobaan diatas kemampuan hambanya.”

“Iya mbak, hanya doa yang bisaku berikan untuk ibu saat ini.”

“Mbak juga akan mendoakan untuk kesembuhan ibumu zahra.”

“Terima kasih mbak.”

Mbak sarah mengangguk dan tersenyum.

Setengah berlari aku menyusuri lorong rumah sakit tempat ibuku dirawat, tak sabar hati ini untuk segera memeluk ibu. Akhirnya aku tiba di depan ruang ICU, dengan sengat hati-hati dan perlahanku langkahkan kakiku, kugenggam perlahan ganggan pintu, ku buka perlahan dan sungguh nafas ini terasa sangat berat untukku hirup kurasa pasokan oksigen berkurang secara drastis.

Allah... apakah yang terbujur lemah di sana adalah ibuku? Dengan semua alat-alat medis menempel dan tertusuk di tubuh ibuku? Tidak, ibuku adalah seorang wanita yang selama ini tersenyum menatapku, matanya selalu memancarkan kasih sayang, dan ia akan langsung memelukku begitu aku menginjakkan kaki di rumah, ibu juga akan membuat semua makanan kesukaanku.

Ku coba untuk melangkah perlahan mendekati sosok yang terbaring lemah itu tanpa memperdulikan ayah dan saudaraku di sana yang membisu menatapku, aku berusaha untuk tegar. Lama ku tatap wajah yang pucat itu, lama ku nanti matanya akan terbuka dan terukir senyum manis di bibirnya, tapi tak ada tanda-tanda sama sekali ibu menyadari kedatanganku. Ku tatap ayah dan saudaraku satu-persatu, dan mereka juga hanya membisu dengan wajah yang sangat lelah.
Ntah apa yang aku rasakan pada saat itu, aku ingin marah kepada mereka mengapa mereka membiarkan ibu menjadi seperti ini? Aku ingin bertanya kepada mereka, aku ingin jawaban dari mereka, aku ingin... akh ntah apa yang aku inginkan sekarang?

Kembali ku tatap wajah ibu dalam-dalam, ku usap wajah ibu, ku rasakan hembusan nafasnya perlahan-lahan, ku tundukkan wajah, ku kecup lembut kening ibu dalam waktu yang lama. Ku pejamkan mata ini, Rabb... mengapa harus ibu? Mengapa bukan aku saja? Masih banyak yang membutuhkan ibu, masih banyak yang mengharapkan kasih sayangnya. Rabb... andai bisa tergantikan aku ikhlas berada diposisi ibu saat ini, aku ikhlas menggantikannya, aku ikhlas. Rabb... Kau Maha Mendengar, kau Maha Mengetahui, apakah kau yakin aku bisa hidup tanpa ibu? Rabb... sembuhkan ibuku, tukar nyawaku dengan nyawanya, ambil aku saja Rabb, ambil aku saja.

Aku tak sanggup melihat ibu seperti ini, aku rasa aku harus menenangkan diriku terlebih dahulu, aku ingin keluar sejenak dari ruangan yang menyiksa ini. Ku kecup kembali kening ibu, ku bisikkan pada ibu “ bu aku pergi sejenak, aku mencintaimu ibu, sungguh.” Aku yakin ibu pasti mendengarnya karena ku lihat air mata mengalir dari sudut mata kanan ibu. Aku melangkah perlahan meninggalkan ibu, ayah dan saudaraku masih belum bicara kepadaku mungkin mereka menginginkan aku untuk menenangkan pikiran terlebih dahulu.

Namun beberapa langkah sebelum keluar pintu, aku menoleh kebelakang, tiba-tiba aku merasa sesuatu yang asing dijiwaku aku merasa tak akan bertemu mereka lagi. Tanpa aku sadari aku mendekat kearah ibuku, ku cium telapak kaki ibuku, kemudian ku hampiri ayah tanpa berkata apa pun langsungku genggam tangan ayahku cium dan ku tatap ayah, aku ingin mengatakan sesuatu tapi aku sendiri juga tak tahu apa yang ingin ku katakan akhirnya aku diam saja. Ku hampiri kakak laki-lakiku, aku juga mencium tangannya, kemudian aku melanjutkan langkahku keluar dari ruangan itu.

Sepanjang koridor rumah sakit yang ku lewati aku merasa asing dengan perasaanku saat ini, apakah jabat tanganku tadi adalah jabat tangan kedatanganku atau jabat tangan pamit yang terakhir? Duh... Gusti apa yang ada dalam pikiranku ini? Aku mencoba tenang dan menganggap semuanya akan baik-baik saja. Beberapa saat aku merasa cukup tenang dengan perasaan asing itu, tapi tiba-tiba perasaan yang aneh muncul lagi ketika aku mengingat ibu.

Aku sangat terpukul melihat keadaan ibu seperti itu, aku merasa sangat bersalah, aku adalah anak perempuan ibu satu-satunya seharusnya aku selalu berada di sisi ibu untuk membantu meringankan tugas ibu mengerjakan semua pekerjaan rumah sehingga ibu tidak terlalu letih dan jatuh sakit seperti ini. Namun ayah bahkan ibuku sendiri yang mendukungku untuk menuntut ilmu di luar kota bahkan pulau agar aku mendapatkan pendidikan yang lebih baik sehingga aku bisa mendapatkan masa depan yang cerah. Begitulah orang tua selalu menginginkan anaknya mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari yang mereka dapatkan.

Perasaan itu begitu berkecamuk dalam dadaku, ada sesuatu perasaan yang menggebu disana mungkin bagian dari rasa bersalah dan emosiku yang tak tau harus ku salurkan kemana. Aku mencoba untuk menarik nafas dalam-dalam berharap akan menjadi lebih sedikit tenang, namun tetap saja tidak berhasil. Akhirnya kuputuskan saja untuk melangkah keluar dari rumah sakit ini, dengan setengah berlari aku mencoba untuk tetap mengartikan perasaan ini. Perasaan ini bertambah menggebu tak menentu, aku buru-buru melewati gerbang dan menyebrang jalan tanpa menoleh ke kiri maupun ke kanan sehingga tanpa disadari mobil ambulance dengan kelajuan tinggi pun menghantam tubuhku, saat itu yang ku rasakan hanya sakit yang luar biasa namun setelah itu aku tidak merasakan perasaan yang menggebu itu lagi dihatiku.

Beberapa saat kemudian aku melihat banyak kerumunan orang di tengah jalan tepatnya di depan mobil ambulance, salah satu diantara mereka ku lihat kakak laki-lakiku yang berusaha menyeruak diantara kerumunan itu. Aku menjadi penasaran dan perlahan aku juga mendekati kerumunan itu, aku merasa aneh mengapa aku dapat dengan menerobos mereka yang memiliki tubuh lebih besar dari pada tubuhku, mereka juga seperti tidak menyadari kehadiranku di sana. Aku menjadi lebih aneh lagi ketika kulihat yang menjadi pusat perhatian mereka adalah tubuhku yang berlumuran darah, jilbab putih yang ku kenakan menjadi bercorak merah dan bahu kananku sepertinya remuk tapi wajahku sama sekali tak bernoda darah hanya kepalaku saja yang bersimbah banyak darah.

Aku masih bingung melihat kejadian itu hingga kakak laki-lakiku mengangkat tubuhku dan membawanya ke IGD tetap saja aku tak mengerti dengan apa yang terjadi. Aku berlari mendekati kakakku, aku berteriak memanggil namanya namun ia sama sekali tak mendengarku bahkan ketika aku menyentuhnya pun ia juga tak menoleh kepadaku, yang ku lihat ia hanya menangis. Tak lama sesampainya di IGD ku lihat ayah berlari untuk mendekati kakakku, kemudian ayah terdiam lalu menangis. Aku masih belum mengerti dengan apa yang terjadi, kembali ku sentuh ayahku tapi ayah juga sama sekali tak menoleh kepadaku ia hanya menghapus airmatanya. Hingga akhirnya aku tersadar bahwa aku sudah terpisah dari ragaku ketika seorang suster membuka kerudungku dan membersihkan darah lalu melipat kedua tanganku dan mengusap wajahku.

Rabb... Kau mendengar doa yang ku bisikkan di telinga ibu saat ku cium keningnya tadi? Benarkah? Rabb... kau sudah menggantikan nyawa ibuku dengan nyawaku, tak apa sesuai dengan ucapanku tadi aku ikhlas menerimanya. Rabb... izinkan aku bertemu sebentar, aku ingin mengecupnya sekali lagi. Aku melangkah ke ruang tempat ibu yang masih terbaring lemah, ku sentuh jemari ibu, ku kecup kening ibu, lagi-lagi air mata mengalir dari sudut kanan mata ibu namun kali ini dengan cepat ku hapus lalu ku bisikkan “bu, mungkin dengan cara ini aku bisa membalas semua rasa bersalahku kepadamu. Aku ikhlas bu, aku mencintaimu. Kau harus sembuh bu, masih banyak yang membutuhkan kasih sayang dan perhatianmu. Aku pergi bu...”

Aku pergi meninggalkan semuanya, semua ini berkat inginku, doa yang ku lantunkan untuk ibu. Terima kasih tuhan... aku titip ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar